Yes you are.
The main reason why i'm sad and happy.
The reason. Give me motivation to do my best.
The reason i believe in true love.
I just love writing. I use my heart to write. :) And life gives me inspiration to write.
Januari 25, 2013
Januari 24, 2013
Melukis lalu terhempas
Sudah lama aku tak menulis.
Karena aku terlalu terbuai untuk melukis.
Lukisan yang aku gores perlahan-lahan dengan tinta warna dan kelabu.
Melukis pagi dengan senyum merekah.
Melukis siang dengan khawatir yang mereda kala dia ada.
Melukis malam dengan kebahagiaan akan hari.
Dan hari itu.
Tiba-tiba saja ego memuncak.
Mengambil alih lukisan yang digoreskan oleh hati.
Ia murka, ia marah.
Menghempaskan lukisan yang masih abstrak.
Hingga lukisan itu kini hancur.
Satu tetes.
Dua tetes.
Tiga tetes.
Beberapa tetes.
Hujan.
Lalu banjir.
Karena aku terlalu terbuai untuk melukis.
Lukisan yang aku gores perlahan-lahan dengan tinta warna dan kelabu.
Melukis pagi dengan senyum merekah.
Melukis siang dengan khawatir yang mereda kala dia ada.
Melukis malam dengan kebahagiaan akan hari.
Dan hari itu.
Tiba-tiba saja ego memuncak.
Mengambil alih lukisan yang digoreskan oleh hati.
Ia murka, ia marah.
Menghempaskan lukisan yang masih abstrak.
Hingga lukisan itu kini hancur.
Satu tetes.
Dua tetes.
Tiga tetes.
Beberapa tetes.
Hujan.
Lalu banjir.
A sad memory
"Semangat." Gadis itu menatap pantulan dirinya di cermin.
Mata sembab dan senyum yang melukis luka.
Suara jangkrik berkumandang.
Mencoba menghibur namun tangisan itu semakin berderai.
Segala pikiran berkecamuk.
Logika memegang angkuh kendali hidupnya menggoreskan penyesalan. Ternyata hati lebih benar.
Logika amarah sesaatnya menyisakan sesal.
Luka kini tergores.
Semakin dalam.
Kebahagiaan itu tak lagi sempurna.
Satu tetes, dua tetes, tiga tetes, beberapa tetes, hujan lalu banjir.
"Kamu terlalu bodoh." Hatinya berkata pilu.
Mata sembab dan senyum yang melukis luka.
Suara jangkrik berkumandang.
Mencoba menghibur namun tangisan itu semakin berderai.
Segala pikiran berkecamuk.
Logika memegang angkuh kendali hidupnya menggoreskan penyesalan. Ternyata hati lebih benar.
Logika amarah sesaatnya menyisakan sesal.
Luka kini tergores.
Semakin dalam.
Kebahagiaan itu tak lagi sempurna.
Satu tetes, dua tetes, tiga tetes, beberapa tetes, hujan lalu banjir.
"Kamu terlalu bodoh." Hatinya berkata pilu.
Langganan:
Postingan (Atom)