LABIRIN MEMORI
Aku terbangun, terjaga dari mimpiku.
Tentu, setiap harinya
aku masih dihantui mimpi tentangmu.
Tentang kita yang kini tiada –hanya sebatas
aku dan kamu–.
Entah mengapa begitu sulit untuk kembali memejamkan mata.
Seketika pandanganku terpaku pada sebuah kardus putih yang
terletak tak berdaya di sudut ruang.
Tentu, aku tahu jelas isinya.
Boneka beruang biru hadiah darimu, mawar tanda cintamu, seribu bintang yang kubuat untukmu, dan setiap tiket film bioskop yang pernah kita tonton.
Perlahan kulangkahkan kaki ke arahnya.
Jemariku mengusap debu
yang telah menyelimuti tutupnya.
Ah! Dua tangkai mawar yang telah mengering mengingatkanku
ternyata sudah sekian lama aku tak kembali menyentuhnya.
Ada rasa rindu sekaligus perih yang menjalar ketika satu
persatu isi di dalamnya menghadirkan beragam kisah yang terekam jelas dalam
memori otakku.
Tangis tiba-tiba saja berderai tanpa ragu. Tanpa ijin dariku
sang pemilik bola mata.
Entah sudah berapa lama kisah kita telah menemui kata akhir.
Tapi rasa itu masih saja bergejolak.
Entah terlalu naif atau bodoh, aku belum benar-benar ingin
melepas dan melupakan setiap kenangan.
Bukankah otak ditakdirkan untuk mengingat dan bukan untuk
melupakan?
Entahlah manusia-manusia itu selalu berkata “Untuk apa
mengingat setiap kenangan. Toh semuanya sudah berakhir. Tidak baik terlarut
dalam kenangan.”
Aku tak akan berkata aku tidak setuju. Ada bagian dimana aku
setuju.
Memang tidak pernah baik terlarut dalam sebuah kenangan.
Tapi bukankah
ada embel-embel kata “kenang” pada “kenangan” yang berarti dia memang difungsikan
untuk dikenang?
Aku tidak bisa semudah itu melupakan segalanya, menganggap
segalanya memang tak pernah terjadi. Menyangkal bahwa dulu aku dan kamu adalah “apa-apa”.
Aku tidak akan munafik dengan mengatakan aku sudah sepenuhnya
melupakan.
Karena bahkan sampai detik ini sangat sulit untuk menghapus
dan mengubur segala kenangan.
Karena kenangan kita tak hanya sebatas benda. Yang bisa
dibuang, lalu lenyap seketika.
Kenangan kita adalah sekumpulan memori yang bisa dengan
liarnya terproyeksi.
Karena kenangan kita adalah sebuah candu, yang seketika bisa
merenggut akal sehatku.
Memaksaku kembali berjalan berlawanan arah jarum jam.
Menyeretku masuk dalam labirin memori.
Tapi, aku sadar, aku ini tetaplah hanya seorang insan manusia.
Aku tetap berpijak pada waktu tempatku kini berdiri.
Aku tak lagi berada dalam masa lalu.
Aku berada di tempat dimana waktu terus berpacu maju, bukan
mundur.
Dan waktu tak mungkin bersedia berhenti dan menungguku sampai
siap melangkahkan kaki.
Ia terus berlari dengan lincahnya, meninggalkan setiap insan
yang terlalu lama terpaku.
Dan aku sadar, ada banyak mimpi yang aku gantungkan di
depan.
Ada banyak mimpi yang masih harus aku raih.
Terlalu menyedihkan mencoba meraih yang ada di belakang,
sementara sesuatu yang lebih indah menunggu di depan.
Dan disinilah kini aku berada, menutup kembali kardus putih
usang.
Menyimpannya hanya sebagai kenangan.
Dan kembali mengumpulkan puing-puing semangat dan tenaga
untuk kembali berdiri dengan kedua kakiku.
Melangkahkan kaki.
Menjadikan kenangan hanya sebagai
kenangan, bukan pegangan.