Juni 30, 2013

Labirin Memori


LABIRIN MEMORI


Aku terbangun, terjaga dari mimpiku.
Tentu, setiap harinya aku masih dihantui mimpi tentangmu.
Tentang kita yang kini tiada –hanya sebatas aku dan kamu–.
Entah mengapa begitu sulit untuk kembali memejamkan mata.



Seketika pandanganku terpaku pada sebuah kardus putih yang terletak tak berdaya di sudut ruang.
Tentu, aku tahu jelas isinya.
Boneka beruang biru hadiah darimu, mawar tanda cintamu, seribu bintang yang kubuat untukmu, dan setiap tiket film bioskop yang pernah kita tonton.

Perlahan kulangkahkan kaki ke arahnya.
Jemariku mengusap debu yang telah menyelimuti tutupnya.
Ah! Dua tangkai mawar yang telah mengering mengingatkanku ternyata sudah sekian lama aku tak kembali menyentuhnya.
Ada rasa rindu sekaligus perih yang menjalar ketika satu persatu isi di dalamnya menghadirkan beragam kisah yang terekam jelas dalam memori otakku.
Tangis tiba-tiba saja berderai tanpa ragu. Tanpa ijin dariku sang pemilik bola mata.
Entah sudah berapa lama kisah kita telah menemui kata akhir.
Tapi rasa itu masih saja bergejolak.
Entah terlalu naif atau bodoh, aku belum benar-benar ingin melepas dan melupakan setiap kenangan.
Bukankah otak ditakdirkan untuk mengingat dan bukan untuk melupakan?
Entahlah manusia-manusia itu selalu berkata “Untuk apa mengingat setiap kenangan. Toh semuanya sudah berakhir. Tidak baik terlarut dalam kenangan.”
Aku tak akan berkata aku tidak setuju. Ada bagian dimana aku setuju.
Memang tidak pernah baik terlarut dalam sebuah kenangan.
Tapi bukankah ada embel-embel kata “kenang” pada “kenangan” yang berarti dia memang difungsikan untuk dikenang?

Aku tidak bisa semudah itu melupakan segalanya, menganggap segalanya memang tak pernah terjadi. Menyangkal bahwa dulu aku dan kamu adalah “apa-apa”.
Aku tidak akan munafik dengan mengatakan aku sudah sepenuhnya melupakan.
Karena bahkan sampai detik ini sangat sulit untuk menghapus dan mengubur segala kenangan.

Karena kenangan kita tak hanya sebatas benda. Yang bisa dibuang, lalu lenyap seketika.
Kenangan kita adalah sekumpulan memori yang bisa dengan liarnya terproyeksi.
Karena kenangan kita adalah sebuah candu, yang seketika bisa merenggut akal sehatku.
Memaksaku kembali berjalan berlawanan arah jarum jam.
Menyeretku masuk dalam labirin memori.

Tapi, aku sadar, aku ini tetaplah hanya seorang insan manusia.
Aku tetap berpijak pada waktu tempatku kini berdiri.
Aku tak lagi berada dalam masa lalu.
Aku berada di tempat dimana waktu terus berpacu maju, bukan mundur.
Dan waktu tak mungkin bersedia berhenti dan menungguku sampai siap melangkahkan kaki.
Ia terus berlari dengan lincahnya, meninggalkan setiap insan yang terlalu lama terpaku.
Dan aku sadar, ada banyak mimpi yang aku gantungkan di depan.
Ada banyak mimpi yang masih harus aku raih.
Terlalu menyedihkan mencoba meraih yang ada di belakang, sementara sesuatu yang lebih indah menunggu di depan.
Dan disinilah kini aku berada, menutup kembali kardus putih usang.
Menyimpannya hanya sebagai kenangan.
Dan kembali mengumpulkan puing-puing semangat dan tenaga untuk kembali berdiri dengan kedua kakiku.
Melangkahkan kaki.


Menjadikan kenangan hanya sebagai kenangan, bukan pegangan.